Sabtu, 10 Mei 2008

Airmata

By Rharha Agustine


"...ragu menuju rumahnya, penuh pertanyaan dalam hatinya Karena kenapa harus pak lurah yang menjemputnya dan kenapa pak lurah terus berkata kamu harus sabar menerima semua ini, kamu harus tegar dan bapak janji semua pendidikan sekolahmu bapak akan biayayi. Sebaikah itu kah pak lurah kepadaku..."




Saidah terpelungkup tertidur disamping kakek tua yang berbaring lemas tak berdaya dengan borok yang mengangah di bagian kaki kananya. Saidah menggerakan lehernya merubah posisi kepalanya agar tidurnya tidak tergangu dengan rasa pegal dilehernya karena hanya bersandar pada besi-besi pinggir tempat tidur.


Saidah menggerakan badanya kembali seolah tubuhnya sudah tidak kuat dengan posisi tidur yang memang tak nyaman ataukah saidah sudah cukup puas dengan tidurnya yang tak ada mimpi indah menghiasi malamnya. Matanya mulai bergerak menerima sinyal kalau matahari sudah mengeluarkan sinar cerahnya. Saidah mengerutkan matanya seiring dengan alis yang melengkung membuka mata sembabnya yang semalam tak berhenti mengeluarkan air mata.


Yang pertama ia lihat adalah bapaknya yang tertidur dengan mata yang tertutp rapat walau saidah tak yakin jelas apakan bapaknya tertidur pulas dengan rasa sakitnya. Wajah bapaknya kini bersinar cerah karena sinar matahari menyinari wajahnya yang masuk dari sela-sela bilik rumahnya. Saidah lagi-lagi meneteskan air matanya ketika melihat borok yang semakin melebar di kaki kanan bapaknya.


“Saidah harus gimana pak….” Lirih saidah menutup mulutnya karena tangisnya pecah dan tak ingin bapaknya terjaga dari tidur.


Saidah beranjak dari duduknya ia melangkah kedapur untuk memasakan bubur nasi untuk bapaknya padahal ia pun belum makan dari kemarin sore karena tak sempat, bapaknya terus menjerit kalau saidah sedetik saja tak disampingnya walau hanya ditinggal kedapur untuk mengambil nasi sepiring untuk mengisi perutnya.


Saidah jongkok didepan ember kusam memandang kosong dan tak lama matanya mulai berkaca2.


“Ya Allah enggkau telah banyak mengujiku dan aku mohon berilah aku jalan keluar dari segala ujianmu…” Air mata menetes lagi dari mata wanita yang belum cukup dewasa karena umurnya baru enambelas tahun. Saidah roboh dari jongkoknya dia terduduk lemas dengan ember kosong yang terguling dari genggamannya. Ember kosong yang biasanya terdapat persedian beras untuk mereka makan dan kali ini kosong tanpa ada sebutir beraspun.


“Saidah…. Saidah….” Suara lemas bapak tua membuat semua organ saidah kembali normal dan langsung bangun dari kekosongan yang serasa arwahnya telah pergi dari tubuhnya.


“Yah…Pak..” Jawab saidah sambil mengusap tangan keriput bapaknya.


“Bapak mau teh manis hangat…” bibir pucat bapaknya bergerak dengan suara gemetar. Saidah hanya tersenyum walau sebenarnya dia menangis dalam hati karena teh tubruk dan gula telah habis untuk buat teh semalam.


“Iya, tapi Saidah beli di warung Mba Parti dulu yah..” ucap saidah, Bapaknyapun mengangguk dan kembali memejamkan mata.


Langkah saidah gontai, otaknyapun seperti tak mampu lagi berfikir untuk mencari jalan keluar dari segala masalah yang dihadapinya. Saidah sudah berada di muka warung Mba Parti.

“Mba…. Aku mau ambil gula ama teh tubruk dan sekalian beras seliter dulu” ucap saidah sambil tertunduk karena malu sama mba parti karena utang saidah sudah terlalu banyak.


“Bapak mu belum sembuh?” Tanya mba parti sambil memasukan pesanan saidah ke kantong keresek.


“belum Mba…” ucap saidah. Mba parti memang tidak pelit seperti warung sebelah rumahnya karena tak membolehkan saidah mengutang sepeserpun.


“ Saidah si Bejo belum bayar uang SPP sekolahnya, jadi maba minta maaf kalo minggu besok kamu bisain bayar utang yah..” saidah tersentak mendengar perkataan mba parti


“ Utang mu udah cukup banyak saidah..” jatung saidah makin bedetak cepat menunggu nominal yang akan disebutkan oleh mba parti yang sudah menambahkan tulisan di buku hutang saidah.


“85 ribu, mba bukan ga kasian sama kamu, tapi kalo kamu belum-belum bayar utang kamu warung mba bisa bangkrut” Saidah hanya menggangguk lemas padahal dia tidak tau akan bisa bayar dengan apa.


“Assalamualaikum….” Suara salam serta ketukan pitu terdengar, saidah beranjak dari tempat tidur berhenti mengelap luka Bapak.


“Wa’alaikum salam.., eh Susi…” Bibir Saidah meleber, terseyum karena baru kali ini teman sekolahnya datang kerumahnya padahal dia sudah hampir dua minggu tidak masuk sekolah.


“Aku baru denger dari emak ku kalo bapak mu sakit, jadi ini alasan kamu ga masuk sekolah” tutur susi sambil menyodorkan sekantong jeruk Sunskist pada saidah.


“Iya Sus, abis bapak ga ada yang temani” jawab Saidah seadanya.


“Udah di bawa kedokter?” Tanya Susi antusias tapi saidah hanya menggeleng lemas


“Aku Cuma kasih obat warung” ucap saidah lirih


“kalo obat warung ga akan bisa nyembuhin luka kaya gini” jawab Susi tegas walaupun saidah sudah tahu dengan tindakanya


“abis mau gimana lagi aku ga ada uang kalo ke dokter” tutur saidah lemas dan tak lama suara lagu terdengar dari salah satu saku tas susi.


“Halo, iya nanti susi datang jam 7 malem..” ucap susi dengan HP yang lumayan bagus, saidah hanya memandang takjub pada susi karena koq bisa susi punya HP sebagus itu.


“Wah kamu hebat punya HP sebagus itu” ucap saidah penasaran karena yang ia tau orang tua susi hanya berjualan nasi uduk dan buruh tani


“gampang koq, kamu juga bisa kayak aku” saidah mengernyitkan dahinya mendengar kata gampang dari mulut susi.


“gimana?” Tanya saidah penasaran. Susi menarik tangan saidah mengajak menjauh dari tempat tidur bapaknya dan berbisik


“kalo kamu mau nyembuhin bapakmu dan beli HP kaya aku, kamu ikut aku kerja”

“kerja?” Tanya saidah heran

“ia! Kita mangkal di pingiran pertigaan kota”

“Astagfirrlullah” saidah tersentak lantas mengusap dada kurusnya

“ aku nda mau, kalo kerja yang begituan. Takut dosa sus…” tutur saidah ketakutan

“kamu pilih mana dosa atau nyembuhin bapakmu?” pilihan yang diberikan susi membuat saidah gamang. Teringat semua masalah ekonomi yang membelenggunya.


“yah kamu jangan seterusnya mangkal di sana, kalo bapakmu udah sembuh, ya berhenti saja” ucap Susi seolah menghalalkan pekerjaan nista itu. Saidah hanya berdiri dengan tatapan kosong walau telinganya masih berfungsi mendengar segala ucapan susi untuk merayunya datang besok sore dengan pakai sedikit seksi.


Saidah masih duduk setia menemani bapaknya sambil mengelap darah dan nanah yang tak henti keluar dari luka kaki kananya.


“maafkan saidah pak, ga bisa nyembuhin bapak. Padahal bapak sakit gini buat saidah” ucap saidah getir dan meneteskan air mata. Ia teringat perjuangan bapak mencari uang dengan mengkayuh becak untuk membiayayi sekolahnya dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan pada suatu saat bapak terkena musibah, bapak dan becaknya terguling di pinggiran sungai yang mengakibatkan luka di kaki kanannya sedangkan becaknya rusak hingga tidak lagi bisa digunakan.


Saidah memedamkan kepalanya di pinggir tempat tidur bapaknya menutupi mukanya dengan tangan kanan keriput bapaknya, saidah terus menciumi tangan bapaknya dan terus menangis. Hatinya menjerit karena ia sendirian memikul penderitannya.


Saidah menadahkan tangan memohon permintaanya dipenuhi dengan kain mukena yang menutupi seluruh tubuhnya ia berdoa sekaligus mengadu tentang kegalau hatinya, berbicara seolah tuhannya ada di dekatnya, air matanya terus menetes seiring bibirnya bergerak mencurahkan isi hatinya.


Selesai saidah puas berkomentar, memohon dan berbicara pada Zat yang tak terlihat tapi saidah mereasakan kedakatanNya.


Dia mendekati bapaknya yang masih terpejam, saidah mencium kening, muka dan tangan kanan bapaknya memohon restu apa yang ia akan lakukan.


“maafkan saidah pak,… tapi ini mungkin ini jalan bagaimana seorang anak harus berbakti pada orang tuannya” ucap saidah lirih.


Tak lama saidah sudah berada tak jauh dari pinggir pertigaan, dan tak susah mencari keberadaan Susi. Susi sudah terlihat dipingir jalan pas ditikungan yang mengarah kesuatu desa kecil. Tak lama Susi melambaikan tangan melihat kedatangan Saidah.


“Tenang aja, kalo kamu belum bisa biar nanti aku temenin, dan bilang sama Si Omnya kalo kamu hanya mau nemenin minum aja” kata susi prihatin karena melihat kepucetan Saidah. Saidah tak merespon tapi juga tak pergi meniggalkan dosa yang akan ia perbuat.


Susi sudah melambaikan tangan pada salah satu mobil sedan yang juga tidak terlalu bagus. Kaca mobil sudah terbuka susi mulai memaikan perannya, dia mulai bernegosiasi pada orang setengah tua yang ada di dalam mobil sesekali Susi dan orang yang ada di mobil melirik kearah Saidah. Saidah hanya pasrah walau hatinya menjerit ingin lari dari tanah panas ini. Kesepakatan sudah berbuah, susi mengatakan “OK” dan Si Om itu mengangguk.


“ya tuhan ampuni aku, aku hanya ingin menyelamatkan nyawa ayahku” lirih Saidah dalam hati.


Susi mulai menggiringku kedalam mobil tapi sejengkal lagi saidah masuk ke dalam mobil suara sirene polisi terdengar begitu keras kontak mengagetkan seluruh orang yang ada di sekitarku. Semuanya kocar kacir seperti terjadi tsunami, susi dan orang dalam mobilpun begitu cepat menghilang hanya saidah saja yang kebingungan setengah mati harus lari kemana dan hanya dengan hitungan menit saidah diringkus masuk ke atas mobil bak polisi.


“aku mau di bawa kemana, Pak” jerit saidah meronta-ronta karena kedua tangannya dibekam begitu keras.


“ke kantor polisi” jawab seorang yang beseragam polisi tanpa basa-basi

“tapi aku ga salah” jawab Saidah


“ kamu sampah masyarakat, harus ada di penjara” saidah tersentak mendengar pernyataan polisi. Saidah lemas dan sekali lagi dia pasrah dengan apa yang akan terjadi nanti.


Selama satu hari saidah berada di dalam terlaris besi, ia diizinkan kembali merasakan sinar matahari dan menghirup udara segar ketika pak lurah menjemputnya dan mengeluarkanya dari kantor polisi.


Saidah hanya melangkah ragu menuju rumahnya, penuh pertanyaan dalam hatinya Karena kenapa harus pak lurah yang menjemputnya dan kenapa pak lurah terus berkata kamu harus sabar menerima semua ini, kamu harus tegar dan bapak janji semua pendidikan sekolahmu bapak akan biayayi. Sebaikah itu kah pak lurah kepadaku? Apa ini jawaban Allah dari semua masalahku? Dan Ia masih sayang denganku karena tidak menyetuh dosa besar itu? Saidah terus berbicara dalam hatinya sampai ujung gang rumahnya. Matanya terbelalak ketika melihat bendera kuning berkibar di salah satu tiang rumahnya.


“Bapak….” Saidah berlari walau langkahnya gontai, ia menjerit tak terima kalo yang ia sayangi meninggalkanya. Sekali lagi ia bertanya pada hatinya pada Zat yang selalu di dekatnya. Apa ini jawabanya? Apa ini jalan keluarnya?


Saidah menangis dan memeluk bapaknya di bisikannya ke telinga bapaknya “Inna Lillahi wainna illahi rojiun” ia mengucapkan takbir dan selawat nabi di telinga bapaknya walau terkdang ucapan saidah tersendak karena tangisnya.

Tidak ada komentar: