Selasa, 03 Juni 2008

Little Childern

by Rharha Sofyan



"....Ku lewati ruang tamu yang cukup luas dan megah.. Tidak ada acara seremonial yang biasa orang lakukan jika ada yang meninggal dunia. Akupun cuek saja, menganggap itu sebuah tradisi yang ga guna. Orang mati tidak akan mengaharapkan sesuatu dari yang hidup. Ku buka kamar Ruben perlahan, dia meringkuk...."


Hujan membasahi kaca mobil Volvo Silver yang ku kemudi dengan baik di atas jalan lurus. Kulihat Ruben dari kaca sepion dalam mobil, sikapnya sangat tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Pandanganya menghambur keluar tanpa arah yang jelas. Hujan semakin deras membuat aku melambatkan roda mobilku karena jalan yang semakin basah dan licin. Lampu merah menyalah di perempatan jalan. Terlihat anak-anak kecil berlari asik mendekati mobil-mobil yang berhenti karena lampu merah yang menyala. Di samping pintu mobilku sudah terdapat bocah kecil dengan pakai lusuh, dekil dan basah kuyup, menebarkan seyum tipisnya, mengisaratkan meminta izinku untuk memainkan lagu yang akan di mainkan dengan jari-jari kecilnya yang memegang biola bututnya.


Aku hanya terdiam acuh tanpa memberi respon sedikit pun tapi bocah itu kekeh memainkan lagu yang selalau dibawakan oleh band-band ternama di kota ini. Lampu merah terasa lama, dan bocah itu terus menggesek biolannya, suaranya tidak terlalu terdengar oleh telingaku karena derasnya hujan dan kaca mobil yang tertutup rapat. Aku menengok sekali pada bocah yang telah usai memainkan biolanya, menunggu aku memeberikanya sesuatu atas pertunjukannya. Ku merempeh laci mobilku, tapi tak kutemukan uang receh yang biasa kusediakan untuk mereka. Dengan terpaksa ku mengangkat tanganku padanya, meminta maaf kalau aku tidak bisa memberinya apa-apa. Ketika aku mulai menginjak pedal gas, dengan cepat Ruben membuka kaca mobil dan memberikan uang sebesar lima ribu rupiah pada bocah lusuh itu. Terlihat seyum bahagia dari bocah itu lewat kaca sepionku. Ku terseyum pada Ruben lewat kaca sepion dalam mobilku, tapi dia tetap dengan diamnya.


Pintu gerbang telah tebuka, ku hentikan Volvo tepat didepan pintu rumah. Ruben langsung bergegas membuka pintu dan berlari masuk ke dalam rumah. Para pembantuku sudah siaga di depan rumahku. Menuggu komandoku.


“Tolong buatkan susu hangat buat Ruben” bibi Inah langsung menganguk dan bergegas menuju dapur.

“Bawa barang-barang” Mang urip pun langsung mendekati bagasi mobil.

“Huhh…” ku lemparkan kerudung yang dari tadi terpasang di kepalaku. Cukup gerah memakainya selama berjam-jam.

Air yang cukup dingin sedikit membawa kesegaran di wajahku ketika beberapa kali kubasuh wajahku.

“God what gona do?” tanyaku pada cermin yang ada dihadapanku.


Lonceng jam di ruang tamu kencang menggema memberitahukan kalau sekarang jam sebilan malam. Ku melangkah keluar kamar. Ku lewati ruang tamu yang cukup luas dan megah.. Tidak ada acara seremonial yang biasa orang lakukan jika ada yang meninggal dunia. Akupun cuek saja, menganggap itu sebuah tradisi yang ga guna. Orang mati tidak akan mengaharapkan sesuatu dari yang hidup. Ku buka kamar Ruben perlahan, dia meringkuk begitu tenang di atas ranjang seperti kucing yang tertidur lelap. Ku usap keningnya yang hampir separuhnya ditutupi oleh poni rambutnya. Seharusnya dia tidak seperti ini, umurnya masih sembilan tahun, seharusnya dia hidup dengan keluarga yang sempurna, bukan seperti keluarga ini. Aku kembali mengusap kening kecilnya dan memberikan satu kecupan serta menyelimutinya. “Happy nice dream sweety” bisikku di telinganya.


“ Ayo makan rotinya sweety..” ucapku karena melihat Ruben terduduk diam di atas kursi makan.

“Mau sarapan lain?” Ruben tidak menjawab.

“Ruben… ayo sarapan, jangan bikin kakak kesel” Kali ini tangan ruben mulai meraih setumpuk roti di hadapannya.

“ Papah mana kak?” Suapan Ruben terhenti

“ Jangan Tanya papah, kamu makan aja..” Satu suapan roti masuk ke dalam mulut kecilnya, dengan malas Ruben mengunyah lalu menelan dengan paksa.

“Be a good boy, ok” kataku setelah merapikan baju seragam Ruben. Ruben tetap dengan gayanya tanpa ada ucapan yang keluar dari bibirnya atau senyum lucunya yang telah hilang bebrapa hari ini.


Aku bergegas meninggalkan meja kerjaku setelah melihat jam dipergelangan tanganku menunjukan jam 11:30. Ku Larikan Volvoku cepat menuju sekolah Ruben. Ruben sudah duduk menunduk sambil mengayun-ayun kan kedua kakinya di bangku halte depan sekolahnya.


“Soory my sweety… Aku telat” Aku menekuk kakiku dan mengelus keningnya. Tapi Ruben hanya melengos dingin dan masuk kedalam mobil. Ruben tidak mengeluarkan kata-kata sedikitpun selama perjalanan pulang. Ruben tidak seperti anak lainya yang selalu becerita yang telah dia lakukan di sekolahnya. Akupun memakluminya mungkin Ruben masih agak canggung denganku, karena baru seminggu aku bertemu lagi dengannya. Aku masih beruntung dia masih bisa menerimaku dan mengakuiku sebagai kakaknya. Aku berada di sini dan meninggalkan Amerika pun alasan hanya karena Ruben. Aku ingin dia tidak seperti aku yang haus kasih sayang kedua orang tuanya. Aku hanya ingin menggantikan sosok orang tua yang tidak aku temukan dimata Ruben.


“Kamu ingin Biola?” tanyaku ketika melihat Ruben terpesona dengan permainan biola bocah kecil di lampu merah. Ruben pun merogoh kantongnya dan memberikan seluruh uang sakunya kepada pengamen kecil.


Aku kembali dikemudiku, menjemput Ruben ke sekolah. Ada yang menambah bebanku karena hari ini aku dipanggil oleh wali kelas Ruben. Wali kelas bilang ada yang harus di bicarakan tentang ruben.


Aku langsung menuju kantor wali kelas Ruben. Ku lihat Ruben hanya duduk diam sambil memainkan salah satu tali tasnya. Tidak terlalu panjang dan lama percakapan aku dan wali kelas Ruben.

“kamu mau ini kan?” Tanyaku pada Ruben, menunjukan satu biola kecil yang cukup bagus pada Ruben. Dia tak menjawab sepatah katapun, tapi aku tetap membelinya. Aku memetuskan Ruben memasukkan Les Biola di dekat rumahku. Aku rasa Ruben ingin belajar biola dan mungkin ini salah satu cara untuk membuatnya bicara atau sedikit membuatnya senang.

“Ayo masuk…, kakak tunggu di sini” ucapku halus pada Ruben. Ruben pun menurutinya dan di tuntun oleh guru les boila.


Aku duduk di luar kelas menuggu Ruben selesai, hampir dua jam lebih aku menunggunya, aku hanya berharap Ruben bisa menikmatinya.

Aku beranjak dari duduk ketika anak-anak kecil keluar bergantian dari dalam kelas. Dan kudapati ruben setelah beberapa anak laki-laki keluar terlebih dahulu.


“Ruben masih sedikit malu dan takut, Bu…” Ucap wanita paruh baya yang menjadi Guru Les biola. Aku hanya tersenyum dan mengangguk padanya.


Hari ini aku kurang enak badan. Dari tadi pagi aku belum bangun dari tempat tidurku, mungkin karena kecapean karena aku meeting sampai larut malam. Aku meyuruh Bi’ Inah dan mang Urip yang mengantar dan menemani Ruben ke sekolah.


“Tok, tok, tok” suara ketukan bebrbunyi dari pintu kamarku

“Masuk..” ucapku tanpa bergerak dari tempat tidurku

“Kenapa Bi, mang?” Tanyaku karena melihat wajah pembantuku yang ga karuan

“Anu neng…” Ucap Mang Urip terpotong

“kenapa? Ada apa? Ruben mana? Ruben ga apa-apa kan” Tanyaku membabi buta.

“Ruben ilang non”

“What!!!” jeritku dan langsung lompat dari tempat tidur.

Demamku semakin tinggi karena sudah ku kelilingi seluruh jalan komplek tapi tidak mendaprati Ruben. Otakku sudah tidak bisa berfikir mencari Ruben kemana?, apa aku harus lapor polisi. Di tanganku sudah menggenggam ponsel dan apa yang aku harus aku katakan pada polisi. Mobilku terhenti di pinggir pertokoan tak jauh dari rumahku. Untuk berfikir sejenak apa yang harus aku lakukan.


Aku melambaikan tangan ketikan bocah kecil ingin mengamen, tapi dia tetap memainkan lagu yang membuat kupingku semakin panas.


“Maaf…” ucapku pelan pada pengamen kecil

“Maaf….” Kataku lagi, tapi dia tetap menyanyikan lagu sambil terus menggesek biola.

“Aku bilang maaf..!” hardik ku, dan bocah itu berlari.

“Oh… Damn!” Aku melihat yang aku cari di keremunan bocah-bocah dekil yang tidak memakai alas kaki. Aku langsung keluar dari dalam mobil dan berlalari menuju kerumunan.

“Ayo pulang…” Ucapku sambil menarik tangan Ruben

“Gak mau, Ruben mau di sini” Jawab Ruben sambil melepaskan tanganku.

“Ini kotor Ruben, kamu bisa sakit” Ucapku dan kembali menarik tangan Ruben lagi.

“Tapi Cuma di sini yang ga bilang kalau Ruben anak kotor” aku tercengang mendengar perkataan yang keluar dari mulut kecil Ruben.

“Apa..? Siapa yang bilang Ruben kotor?” Tanyaku lemas


“Teman-teman sekolah bilang kalau Ruben anak kotor, mamah temen-temennya Ruben bilang kalau ruben anak kotor. Yang ibunnya mati bunuh diri karena ketauan selingkuh dan punya bapak pejabat yang selalau makan uang orang kecil” Teriak Ruben sambil berlari menangis kepojok toko. Aku tidak menyangkan Ruben kecilku bisa berkata seperti itu.

“Ruben mau disini kak…” Lirihnya sambil mendekap Biola.

“Di sini ga ada yang bilang kalau Ruben anak kotor..” Tangisnya pecah lalu memelukku

“Iya sayang, kamu boleh main di sini..” Ucapku sambil terus merengkuhnya erat.


Aku menghujat orang-orang yang mengatakan kalau adik kecilku anak kotor. Ruben sedang asik melihat permainan anak kecil yang bernama Aang, yang Ruben kenalkan padaku. Beberapa kali aku melihat Ruben tertawa lepas dengan mereka, aku menurutinya permintaan Ruben saat Ruben ingin ikut mengamen dengan mereka. Setelah sore menjelang aku membujuk Ruben pulang, Ruben pun tidak menolak. Aku terseyum kembali melihat ruben berjabat tangan seperti anak band terkenal pada teman barunya.


“Aku boleh berteman dengan mereka kak?” Tanya Ruben beberbisik di telingaku saat ku gendong ke kamar tidurnya.

“Boleh…. Tapi kamu harus tetap sekolah” Ruben mengangguk pasti dan mencium pipiku cepat.

“Ok, Good night sweety..” Aku menyelimutinya.

“kak Gladis… bisa cerita dongen untukku? Teman-teman sekolahku selalu cerita kalau meraka selalu didongengi sewaktu mau tidur, aku belum pernah merasakan itu. Kakak bisa lakukan itu untukku…..” Tutur Ruben sedih.

“Of crouse.. my Little sweety..” jawabku.

Ruben asik mengesekakan bioalanya bersama Aang, seyumnya terus terpasang dibibir tipisnya. Mereka sedang beradu kemampuan dan menujukannya padaku. Ruben mememinta aku sebagai juri yang menilai siapa yang paling bagus memainkan biloa untuk memenangkan satu kotak es crim yang aku bawa setelah pulang kerja.


Ruben lemas setelah aku memilih Aang yang menjadi pemenang, tapi seyum Ruben belum hilang. Aangpun dengan bijaksana membagi setengah hadianya pada adik kecilku. Mulut mereka belepotan dengan coklat es krim, mereka asik sekali berbincang diselingi suara tawa yang menggelegar ke seluruh ruang tamu. Tanxs God… aku mendengar Ruben tertawa lagi dengan lepas tanpa ada kegundahan dalam hatinya.


Untuk saat ini atau untuk selamanya aku mengenyampingkan status sosila atau apapun demi kebahagia Ruben. Aku menghilangkan jarak perbedaan antara Si miskin dan Si kaya, demi kebahagiaan Ruben. Aku hanya ingin mengumpulkan lagi serpihan-serpihan kecil keluarga ini menjadi keluarga yang diinginkan Ruben atau anak kecil lainya. Aku harus berbuat sesuatu untuk mengembalikan papah untuk tidak terus terlarut dengan jabatanya dan hartanya yang sebenarnya membuat kehancuran untuk dirinya atau untuk keluarganya.


Semoga Tuhan memberikan aku Full Power untuk merubah semuanya menjadi baik, demi Ruben, demi aku, demi papah, demi mamah ataupun demi bangsa ini.